23.4.11

Di mendung sore, lalu ...

Biyan

Hujan untung sudah reda. Kini aku sudah bisa pulang. Tono yang kebetulan membawa motor, mengajakku untuk menemaninya. Aku, senang saja. jalanan yang tidak terlalu ramai karena sehabis hujan, dan basah karena lebatnya, telah menenangkan perjalananku pulang. aku perlu bernafas atas situasi sekolah yang tidak terlalu menyenangkan. Aku harus menerima kenyataan karena tidak akan lagi pergi ke sekolah yang sama, dan tidak akan lagi sering melihat mukanya. Dan yang lebih menyedihkan, sampai saat ini pun aku belum berani berkenalan dengannya.
Macet, Tono pun terus mengeluh. Aku diam dengan mendengarkannya. Kulihat di sekitar untuk memastikan apakah mereka pun merasakan yang sama. Ada di samping, seorang gadis. Tampaknya ia yang paling tak terima. Hei, tunggu. Ia bukannya marah atas apa yang terjadi kini. Ia menangis, sesenggukan. Membawa motornya sembari menghapus air mata. Menetes lagi, dihapus lagi. Menetes lagi, dihapus lagi. Walaupun kaca helm menutup sebagian wajahnya. Aku tahu, matanya sangat basah. Kenapa dengannya? Mataku tak dapat tak memperhatikannya, walau kutahu ia sembunyi. Aku tak peduli.

Ibu Wina

Pasar kini menjemukan. Aku kesal karena tak mendapatkan daging merah kesukaan anak-anak. Sudah kukira mereka akan meronta kesal karena idaman mereka tak berhasil didapatkan. Apa daya, uang pemberian tak pernah cukup, dan aku lelah karena terus berfikir bagaimana mengakalinya. Jika kau tahu langit, aku juga punya keinginan. Dan tahukah bahwa menyebalkan ketika keinginanmu tak akan pernah didapatkan karena keterbatasan. Fuh, aku bertanya kepadamu dengan mata. Tapi, aku terpaku dengan pemandangan belakangku. Motor, seorang gadis, dan menangis. Ada apa dengannya? Mengapa ia harus menangis sambil berkendara? Tahukah bahwa itu berbahaya? Ada apa dengan gadis itu? Kaca mobil belakang angkutan kota ini untung gelap, dan pasanganku di seberang tempat duduk untung tidak memperhatikannya juga. Aku, kasihan. Dan selain aku, tolong jangan ada lagi yang peduli dengan gadis ini, tolong. Tahukah kau apa artinya kasihan?

Gendis

Ya, sebut saja aku aneh. Langit mendung dan udara yang dingin, serta kesendirian dan juga kenyataan tidak indah hari ini, membuatku tak mampu menguasai kondisi. Hatiku sangat perih, seperti ada yang melubangi. Aku menangis pelan, namun lama-lama sesenggukan. Motor ini akan membawaku pulang, tapi aku megaturnya agar lebih lama di jalan. Aku tak mengerti, ada apa dengan orang baik? Apa salahnya menjadi orang baik? Bukannya semua orang ingin mendapatkan yang baik?
Aku tahu, aku tak mengerti karena tak pernah mau mengerti.
Untuk apa harus seperti ini, jika akhirnya berujung kecewa. Aku jadi trauma. Ya, sebut saja aku aneh. Tidak apa-apa, aku sudah biasa.
Ya, kasihan saja kepadaku hari ini, orang-orang. Tatapan matamu semua ikut mengulitiku.




No comments:

Post a Comment