5.6.12

Rindu yang tak terdefinisikan

Jalanan sore hari yang sepi adalah saat favorit Gendis. Ia bisa bebas tertawa pada daun-daun yang bergerak menyapanya, menengadah ke atas awan yang berkerling genit ke arahnya. Gendis pun bebas berkomentar pada kucing yang merebah malas di halaman rumah seberang jalan yang ditapakinya. Gendis merasa sangat bebas menarik nafas super kencang dan menghelakannya lebih-lebih lagi. Dalam langkah yang dibuat lambat, Gendis pun berhenti sejenak dan memejamkan matanya.

Tahukah kamu apa yang sedang Gendis pikirkan?

Gendis merindukan sahabatnya. Gendis merindukan candaan yang mampu membuatnya tertawa, tetapi hanya dari mulut sahabatnya. Sahabat yang ia rindukan. Sahabat yang ia sayang.

"Andai saja sejak dulu kamu menyadarkan ada apa dengan kita. Andai saja kamu mematahkan teoriku tentang kemurnian pertemanan pria dan wanita dari semula. Aku yakin rindu ini tak akan pernah ada."

Tahukah kamu apa yang sedang Gendis sesalkan?

Gendis tidak menerima betapa pasrahnya hati sahabatnya, dan juga dirinya, ketika sama-sama tidak mau berusaha. Ketika mereka berdua hanya menyimpan semua kata untuk menuju perubahan yang bahkan tak terpikirkan, jauh... jauh sebelumnya. Gendis menyesal mengapa ia begitu percaya, mereka tak akan pernah kemana-mana.

"Halo Awan yang budiman, aku tahu kamu akan pergi menuju ia yang kurindukan. Tolong beritahu aku ya, ia sedang senang-senang saja. Tidak tersiksa dengan rindu yang tak terdefinisikan seperti yang aku punya. Kalau iya jawabnya, beri aku pertanda.

"Jangan hujan."



No comments:

Post a Comment