stasiun kereta di malam hari. Gendis melangkah lambat di samping Kevin dengan diam, tanpa bunyi apapun yang ia keluarkan. Ingin sekali Kevin tahu bahwa langkahnya adalah tanda. Langkah ia punya makna. Ia tidak ingin pergi dan tidak melihat Kevin esok pagi. Apa daya, Gendis bukanlah gadis pemberani, ia hanya berharap bumi dan sekitarnya memahami perasaannya kini. Ia harap bumi dapat berkonspirasi kepadanya malam ini.
"Dis, hati-hati ya!" pesan Kevin seraya mengacak rambut Gendis pelan.
Gendis diam saja, ia menunduk lemas. Beberapa detik persiapan, Gendis akhirnya mengangkat wajahnya, mencoba menatap mata teduh yang menemaninya minggu ini. Gendis menarik senyum pelan dan mengangguk tabah.
"Jangan lupa kalau udah sampai, kabarin." pesan Kevin kedua kali.
"Oke!" hanya itu yang mampu Gendis utarakan.
sepuluh detik berlalu dalam diam. Gendis akhirnya berbalik dan menuju kereta yang diam menunggu waktu tiba untuk berjalan. Gendis masuk, tanpa berbalik untuk melambaikan tangan. Baginya hal itu sangat berat.
Gendis terduduk di bangku kereta pesanannya. Gendis sangat gundah dan tidak mau pergi sebenarnya. Ia terdiam di dalam lalu lalang manusia di sekitarnya. Bahkan Gendis tidak berharap Kevin akan menyusulnya ke jendela sebelah dirinya. Ia terlalu takut senyum Kevin yang ia dapatkan jika menoleh akan tertempel lama di otaknya.
Nyatanya Kevin menghampiri jendela itu. Ia memanggil Gendis pelan dan memberikan secarik kertas yang dilipat rapi dengan tempelan gambar-gambar bintang yang digambarnya sendiri. Gendis tersenyum kecil. Kevin lagi-lagi memberinya kenangan manis dengan surat ini. Gendis tak ingin membuka dan membacanya karena bisa saja kata-kata yang Kevin tulis malah menyakiti hatinya.
"Bacanya nanti aja, kalau keretanya udah jalan."
"Memang kamu nulis apa?"
"Aku nulis testimoni, hehe."
Gendis tersenyum, tetapi hatinya seperti tertusuk. Pengharapan tinggi ini, rasanya Gendis ingin sekali membuangnya jauh ke dasar tebing. Kevin, si pemuda baik hati pada siapa saja, tak mungkin jatuh hati padanya.
"Hati-hati ya! Jaga diri dan waspada!" pesan Kevin ketiga kali dengan teriakan yang hampir tak terdengar karena kebisingan kereta yang melaju. Gendis menghela nafas, panjang sekali. Ia memejamkan mata, menyuruhnya untuk tidur segera.
Tiga jam telah berlalu, Gendis masih saja gelisah karena semua kenangan Kevin tergambar jelas di otaknya. Kevin, Kevin, Kevin. Ugh, kenapa aku harus jatuh cinta sekarang, Ya Tuhan? teriak Gendis dalam hati.
secarik kertas itu, Gendis memperhatikan gambar itu senang. Kevin tahu ia sangat suka pada bintang. Namun yang Kevin tidak tahu, Kevinlah bintang itu. Bintang adalah benda ciptaan Tuhan yang indah, namun ia jauh. Gendis tidak pernah bisa menggapainya. itulah Kevin buat Gendis. indah namun pahit.
Gendis tidak sabar juga akhirnya, ia pikir ia sudah siap menerima kenyataan. Biarlah Kevin tetap menjadi yang terbaik di hatinya, walau tanpa balasan. Gendis sudah siap. Ya, ia sudah siap.
Dear Gendis yang manis,
Aku, Kevin, ingin mengatakan pendapatku tentang kamu. Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin bicara tentang ini, tapi Gendis, aku malu. Aku ingin sekali memuji kamu langsung di depanmu. Tetapi, ah, kamu tidak tahu betapa pemalunya aku.
Dis, aku sangat kagum kepadamu. Kamu perempuan yang selalu menghiburku dengan caramu. Bersamamu aku jadi tahu, betapa impianku sangatlah kecil dibanding kamu. Betapa aku begitu dangkal memikirkan kehidupanku. Gendis mengajarkanku sesuatu yang indah, yang sebelumnya tak pernah ada yang membuatku memikirkan arti bahagia selama ini. Kamu, Gendis, yang buat aku tahu, senyum sesederhana yang aku punya dapat membahagiakan hati siapa saja. Haha, kamu kan salah satunya :p
Gendis, aku tahu mungkin aku belumlah siapa-siapa yang dapat membuatmu kagum juga kepadaku. Lagipula, dianggap sebagai seseorang yang penting bagimu aku sudah sangat bahagia. Kamu pernah bilang saat itu, aku adalah pemuda yang dapat mencapai apapun yang aku mau. Kamu merasa, aku berbakat untuk melakukan apapun yang aku tuju. Kamu benar, Gendis, aku akan berusaha menjadi sebaik yang kamu bilang. Kamu tahu kan, sejak saat itu, kamu benar-benar inspirasiku.
Gendis, apakah kamu mau menjadi salah satu pencapaianku? Menjadi pasangan hidup yang
selalu menemaniku?
Kevin.
Gendis terperanga. Ia menangis. lebih tepatnya, ia tersenyum sambil menangis.